Jakarta – Jelang pelaksanaan pemilu serentak kita telah banyak menyaksikan sejumlah ketegangan yang terjadi sebagai imbas dari polarisasi politik dalam persaingan dua kandidat utama pemilihan presiden. Namun, dari sekian banyaknya masalah yang muncul, barangkali tak ada yang lebih mengkhawatirkan dari hadirnya potensi delegitimasi institusi pemilu. Kemunculan tagar “INAelectionobserverSOS” atau “Indonesiacallsobserver” yang ramai beberapa waktu terakhir dalam platform digital menjadi pertanda kuat bahwa ada sebuah upaya yang mengarah pada hal tersebut.Tagar itu mengisyaratkan sebuah permintaan tolong kepada dunia internasional untuk dapat ikut memantau pemilihan umum yang akan diselenggarakan Indonesia. Asumsi yang dibangun tak lain ialah pemilihan umum Indonesia yang terselenggara akan penuh dengan praktik kecurangan. Selain mencoba membentuk persepsi publik, viralnya tagar itu juga bermaksud membentuk gerakan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menggugat hasil pemilu nantinya. Sebagai target utamanya, gerakan itu menyasar institusi resmi pemilu yakni KPU maupun Bawaslu. Dugaan itu bukan tanpa alasan. Jauh sebelum tagar itu muncul dan ramai digunakan, upaya delegitimasi juga sebenarnya sudah bisa dirasakan sebelumnya melalui serangkaian hoaks dan pernyataan provokatif yang dilontarkan oleh sejumlah elite. Kebanyakan hal itu memang dilakukan oleh pihak oposisi. Hoaks tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos misalnya, juga isu adanya ribuan DPT ganda, adanya mobilisasi warga asing untuk ikut memilih, dan tuduhan secara langsung bahwa KPU tidak netral adalah gejala kuat bila serangan sudah mengarah pada institusi penyelenggara. googletag.cmd.push(function() { googletag.display(‘div-gpt-ad-1547837152118-0’); }); Efek yang diharapkan muncul dari serentetan tuduhan itu tak lain adalah terbentuknya persepsi publik bahwa institusi pemilu yang ada sudah tidak menjalankan tugasnya secara kredibel, profesional, dan independen. Anggapan yang dikembangkan bahwa pemerintah, yang dalam hal ini rezim petahana, telah ikut mengintervensi penyelenggara pemilu sehingga posisinya tidak netral lagi. Ini tentu menjadi kondisi yang berbahaya. Selain mengancam sistem tata kelola pemilu yang sudah mapan dan terorganisasi melalui hadirnya institusi-institusi resmi, kondisi ini juga dapat memicu kegaduhan politik yang dapat meluas sebagai konflik sosial nantinya.Pemaksaan MonologSulit untuk bisa mengatakan bahwa gerakan pengawasan yang viral melalui tagar itu memiliki motif yang semata untuk pengawasan pemilu. Dalam kondisi politik yang berkembang hari ini, kemunculan gerakan itu jauh lebih bisa dirasakan sebagai suatu gerakan yang bernuansa politis. Pasalnya, narasi yang menyinggung mengenai kredibilitas kinerja institusi pemilu tidaklah berangkat dari pandangan umum yang ada pada masyarakat.Dalam arti lain, narasi kecurangan sebenarnya bertolak belakang dengan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu yang justru semakin meningkat. Hal itu dapat didasarkan dari hasil survei lembaga SMRC awal Maret lalu yang menggambarkan bahwa sebesar 80 persen masyarakat masih memiliki kepercayaan yang tinggi pada kinerja institusi penyelenggara pemilu. Angka itu dapat dikatakan meningkat karena bila dibandingkan dengan hasil survei lembaga IFES dan LSI di Pemilu 2014 yang lalu, tingkat kepercayaan publik kepada KPU justru hanya sebesar 71 persen. Dengan begitu, alih-alih masyarakat akan percaya bahwa KPU tidak netral, justru yang terlihat bahwa masyarakat semakin mengakui perbaikan-perbaikan penyelenggaraan pemilu yang telah dilakukan, dan sekaligus percaya KPU maupun Bawaslu akan menjalankan tugasnya sesuai amanat undang-undang. Melihat kondisi demikian, narasi kecurangan sekaligus kondisi genting dalam pemilu Indonesia sehingga membutuhkan campur tangan pihak asing, sebenarnya tak lebih dari sebuah monolog yang dipaksakan kepada publik. Dalam leksikon seni peran, monolog dapat diartikan sebagai sebuah percakapan yang dilakukan oleh aktor seorang diri. Hal itu menggambarkan kondisi di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan sebuah adegan. Pada konteks ini, perumpamaan itu mengisyaratkan bahwa isu yang berusaha menganulir kredibilitas institusi pemilu dan hasil pemilu kelak, tak lebih dari nada sumbang yang berasal dari “satu pihak”. Dalam artian lain, ia tak mewakili common sense dalam menilai kualitas penyelenggaraan pemilu. Maka sebagai sebuah ancaman, hal itu tak begitu memiliki efek yang signifikan karena penggunaannya tak relevan lagi untuk mempengaruhi masyarakat.Integritas PenyelenggaraNamun demikian, berdasar kajian ketahanan demokrasi yang dirilis International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) pada 2018 ancaman delegitimasi pemilu menjadi suatu fenomena yang tak bisa begitu saja disepelekan. Kajian itu menandaskan bahwa dalam rangka menghindari gejala kemunduran demokrasi, suatu negara memang harus memastikan kemampuannya untuk dapat melawan manipulasi, penghapusan, atau bahkan pelemahan terhadap aturan maupun lembaga pemilu yang ada.Kemunculan isu yang berupaya mendelegitimasi institusi pemilu maupun hasil yang akan diperoleh nantinya memang mesti dilawan. Namun, bersamaan dengan itu upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu juga mesti diperkuat. Kenyataan bahwa penyelenggaraan pemilu masih jauh dari kata sempurna menjadi alasan upaya-upaya pengawasan penyelenggaraan harus tetap dilakukan. Sebagai instrumen resmi negara dalam penyelenggaraan pemilu, KPU beserta Bawaslu dituntut berintegritas dan profesional. Sebab ukuran kualitas penyelenggaraan pemilu ada pada integritas dan profesionalitas yang mereka miliki.Sebagaimana yang diungkap Norris (2015) dalam bukunya Why Electoral Integrity Matters, bahwa dengan pemilu yang berintegritas salah satunya dapat berfungsi meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sekaligus mampu meredam aktivitas protes massa. Hal itu tentu mengisyaratkan kondisi bangunan kepercayaan publik yang sudah kuat terhadap lembaga politik sebelumnya. Dengan bangunan kepercayaan publik yang kuat, maka demokrasi yang dijalankan berangsur ikut menguat. Memperkuat integritas pemilu itu bisa dilakukan dengan salah satunya meminimalisasi bentuk pelanggaran dalam pemilu. Beberapa tindakan misalnya, memastikan ASN tidak terlibat dalam pemilihan politik praktis, hingga mengawasi penyebaran penggunaan politik uang kepada masyarakat untuk pemenang kandidat menjadi agenda yang jauh lebih penting untuk dilaksanakan. Sebab dengan pemilu yang dipenuhi dengan berbagai pelanggaran (electoral fraud), pada akhirnya justru akan mendelegitimasi pemilu itu sendiri sebagai sarana untuk mencapai akuntabilitas dan legitimasi pemimpin yang terpilih. Iqbal F. Randa mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya (mmu/mmu) Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini sekarang! Original Source : https://news.detik.com/kolom/d-4501422/ancaman-delegitimasi-pemilu-2019