Jakarta – Judul Buku: The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan; Penulis: Carl Sagan; Penerjemah: Damaring Tyas Wulandari Palar; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018; Tebal: xvi + 512 halamanMeskipun secara jumlah halaman lebih tebal ketimbang buku lain karya Carl Sagan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-Kosmos (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), buku The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan ini melahirkan perspektif lain yang lebih mudah dipahami maupun diresapi oleh pembaca ketimbang Kosmos. Namun, hal tersebut tak menjadi persoalan yang serius. Masing-masing pembaca akan punya tafsir yang bisa saja berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam pembacaan pada setiap buku yang ada.Carl Sagan adalah sosok yang pernah menjadi mahasiswa di departemen Fisika Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia merupakan ahli astronomi, kosmologi, astrofisika, dan penulis sains populer yang pernah terlibat pada berbagai penelitian antariksa, termasuk ekspedisi wahana Mariner, Viking, Voyager, dan Galileo ke planet-planet tata surya.Buku ini menjadi penting saat zaman yang tak bisa dipungkiri menunjukkan adanya lonjakan-lonjakan fenomena yang membahayakan akan keberadaan sains. Seperti halnya adalah kehadiran sains yang bersifat semu (pseudosains), tipu-daya takhayul dengan berkedok sains, dominasi mistisisme, tsunami informasi maupun berita bohong (hoaks) di pelataran jagat nyata maupun maya hingga keterasingan diri (self alienation) pada banyak manusia yang terbuai dengan kemajuan-kemajuan yang dihadirkan oleh sains maupun teknologi.Sebagai refleksi awal, kita perlu berangkat dari apa yang pernah disampaikan oleh seorang filsuf cum ahli astronomi, Karlina Supelli dalam ceramah ilmiahnya di Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada 22 September 2017. Dalam materi berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahuan, ia membuka dengan pernyataan, “Ilmu tidak mengajarkan kepastian. Ilmu melatih diri untuk berani menyangsikan.” Tentu saja hal tersebut juga relevan ketika dikaitkan pada salah satu ranah keilmuan berupa sains.Gagasan yang disampaikan oleh Sagan dalam kaitannya mengenai sains adalah bahwasannya bukan hanya sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan sains merupakan cara berpikir. “Sains berkembang justru karena kekeliruan, yang dipangkas satu demi satu. Selalu ada kesimpulan keliru yang ditarik, namun kesimpulan memang ditarik secara coba-coba. Hipotesis dibingkai sedemikian rupa sehingga bisa ditolak. Sederetan hipotesis alternatif dihadapkan ke percobaan dan pengamatan. Sains meraba-raba dan dan terseok-seok menuju pemahaman yang lebih baik.” (hlm. 23-24).Hal itu senada dengan gagasan dari seorang filsuf berkebangsaan Jerman, Karl Raimund Popper melalui karyanya berjudul Logika Penemuan Ilmiah (Pustaka Pelajar, 2008). Ia memperkenalkan prinsip falsifiabilitas. Segala ungkapan, pernyataan, gagasan, hipotesis atau bahkan teori pada dasarnya dapat dibuktikan salah, melalui pembuktian berupa pengujian maupun eksperimen yang melahirkan hipotesis baru. Oleh karena itu, tak bisa dipungkiri bahwa dalam sains tidak berlaku kebenaran mutlak, melainkan sains memberlakukan kebenaran relatif. Carl Sagan kemudian mengungkapkan akan pentingnya metodologi sains. “Metode sains, meskipun tampak menjemukan dan menjengkelkan, jauh lebih penting daripada temuan-temuan sains.” (hlm. 25). Sagan menganjurkan kepada para pembaca baik berasalkan dari kalangan masyarakat maupun pemangku kebijakan untuk menerapkan metode berpikir sains. Dua sikap yang diketengahkan Sagan melalui buku tersebut adalah berpikir kritis dan skeptis.Berpikir kritis pangkalnya berupa pemahaman bahwa sains bukan sekadar pengetahuan dengan berbagai data maupun fakta semata. Namun, ia juga merupakan cara berpikir. Sikap kritis tidak lain adalah sebagai mekanisme pengoreksian kesalahan atas apa yang terjadi pada sains. “Tidak peduli seberapa pun pintar, berwibawa, atau dicintainya Anda, Anda tetap harus membuktikan pemikiran Anda di hadapan kritik keras berdasar. Keanekaragaman dan perdebatan dihargai. Kita didorong untuk menyampaikan pendapat secara berbobot dan mendalam.” (hlm. 36).Sementara itu terkait skeptis banyak disinggung oleh Sagan dalam Bab 17, Perkawinan Skeptisisme dan Ketakjuban. Pemikiran skeptis yang diharapkan adalah mampu bekerja sama dengan pemikiran kreatif agar mampu menjaga sains sesuai dengan jalurnya. Sebab kalau hanya skeptisisme saja, yang terjadi hanyalah sebatas kecurigaan dan apa yang dilihat diyakini omong kosong belaka. “Skeptisisme maupun ketakjuban adalah keahlian yang sama-sama butuh diasah dan dipraktikkan.” (hlm. 350). Hal tersebut tidak lain adalah sebagai upaya melahirkan nalar ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dari waktu ke waktu.Sains adalah JawabanTidak bisa dipungkiri terkait mengenai berita bohong (hoaks) maupun keyakinan terhadap pseudosains terus menjadi bayang-bayang dalam perkembangan sains. Sebagaimana juga dipaparkan Sagan dalam salah satu bagian yang ada di buku ini. “Setiap cabang sains memiliki pseudosains pasangannya sendiri. Ahli geofisika menghadapi Bumi datar, Bumi bolong, Bumi dengan sumbu yang naik-turun dengan liar, benua-benua yang timbul dan tenggelam dengan cepat, belum lagi peramal gempa…..Pseudosains-pseudosains itu terkadang berpotongan, menambah ruwet-seperti dalam pencarian harta terpendam Atlantis menggunakan telepati, atau ramalan ekonomi menggunakan astrologi.” (hlm. 49).Sagan juga menyebutkan beberapa contoh pseudosains maupun berita bohong yang beredar di Amerika Serikat pada era 90-an. Yang mana sebenarnya isu-isu tersebut telah terpecahkan oleh sains dalam ribuan tahun yang lalu. Namun, kenyataannya dalam pelbagai kejadian maupun fenomena, hal tersebut mudah sekali menyeruak dalam masyarakat, sekalipun itu pada perkembangan zaman yang telah masuk ke-21 ini. Fenomena itu tidak lepas dari upaya membuat ketakutan, mencari keuntungan, mengejar ketenaran hingga membuat riuh masyarakat.Sains adalah jawaban. Setidaknya frasa itu yang sebenarnya disampaikan Sagan melalui buku ini. Ketika dijadikan sebagai jawaban atas pelbagai tantangan kehidupan yang ada, maka hal lain yang penting adalah terkait mengenai komunikasi sains. Muaranya berupa penjembatan antara ilmuwan dengan masyarakat. Ilmuwan punya tanggung jawab akan keilmuan pada lapisan masyarakat. Sebab, kalau sains hanya dimiliki oleh kelompok terpelajar maupun ilmuwan saja, sama saja hanya sebatas menjadi sebuah menara gading yang dielu-elukan.Melalui buku berisikan dua puluh lima bab ini Sagan telah memberikan contoh berupa usaha dalam menyajikan pengetahuan terkait sains yang mudah dicerna, dipahami, dan diresapi oleh siapapun tanpa memandang latar belakang. Sains nyatanya merupakan sesuatu hal yang dialami maupun dirasakan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Ia memberikan stimulus maupun rangsangan dalam berbagai perspektif akan bagaimana cara memahamkan sains pada diri untuk menjalankan kehidupan.Pada kenyataannya, seiring perkembangan zaman, sains terus menjadi penopang, penyaji dan pengambilan sikap dalam pelbagai peristiwa yang ada di luasan alam semesta ini-interpretasi maupun intuisi. Kehidupan manusia kapan dan di mana pun tidak akan terlepas akan sandaran pada sains.Joko Priyono esais, penulis buku Bola Fisika googletag.cmd.push(function() { googletag.display(‘div-gpt-ad-1547837152118-0’); }); (mmu/mmu) Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini sekarang! Original Source : https://news.detik.com/kolom/d-4469928/bersandar-pada-sains