Dari Gosip Menjadi Ujaran Kebencian

Dikirimkan oleh Dede Solehudin, Pengguna Media Sosial

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masyarakat kita masih terbilang baru dalam ber-medsos. Saya mengalami platform Friendster kemudian beralih ke Facebook setelah bisa menikmati ponsel yang cukup cerdas. Dari Facebook lalu ke Twitter, Instagram, YouTube dan Tumblr. Semua coba saya ikuti meski hanya menumpahkan rasa panasaran saja. Semua kanal media memiliki keunikan tersendiri. Ada yang fokus pada tulisan seperti Facebook dan Twitter, sedangkan Instagram lebih kepada picture. Adapun YouTube lebih fokus pada video.

Gosip yang sekarang bermutasi menjadi hoax, adalah produk tambahan dari hadirnya teknologi digital dan selular. Dahulu, gosip hanya ditemukan di siaran televisi yang dibawakan oleh seorang host atau melalui majalah dan tabloid. Kini gosip bisa dikonsumsi dengan teramat mudah baik berupa bacaan maupun tontonan melalui media sosial. Semua orang bisa menjadi jamaah gosip tak terkecuali kalangan berdasi maupun kalangan sandal jepit.

Daur hidup Gossip

Gosip merupakan sebuah frasa untuk menjelaskan selentingan atau desas-desus yang cenderung masih sangat diragukan tentang kebenarannya. Itulah kira-kira batasan gosip menurut Wikipedia. Gosip biasanya berisi berita atau selentingan yang bersifat negatif, contohnya adalah tentang perceraian dan perilaku buruk seseorang yang dianggap sebagai aib.

Tentu subjek ataupun obyek gosip ini pula tidak hanya sebatas bagi selebritas. Gosip juga bisa mengenai seseorang yang biasa-biasa saja yang jauh dari sorotan mata orang banyak. Secara sosial, gosip memiliki dua sisi yang kontradiktif. Bagi objek yang digosipkan, ini bisa sangat merugikan. Namun bagi media yang menyiarkan desas-desus tersebut bisa menguntungkan karena bisa menaikan rating atau pamor.

Kini gosip sudah betul-betul mudah untuk ditemukan, baik dalam bentuk narasi maupun video. Hari ini gosip lebih mudah tersebar melalui media daring sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter maupun pesan berantai semisal Whatsapp. Penyebarannya menjadi lebih “realtime” dan sangat cepat.

Bagi penikmat gosip mungkin ini sebuah hal yang sangat mengesankan karena bisa mendapatkan informasi yang sangat cepat dan tentunya mudah. Dulu untuk menikmati kabar gosip, seseorang harus menonton televisi atau membaca majalah, namun hari ini kita tinggal buka media sosial dari smartphone kita. Akun gosip bertebaran, berserakan begitu rupa.

Sifat gosip yang negatif membuat beberapa pihak memanfaatkannya sebagai ladang untuk mencari keuntungan secara finansial atau sosial. Beberapa akun sengaja dibuat untuk menyebarkan gosip tentang suatu hal atau seseorang dengan beragam motif. Gosip untuk tujuan pencitraan maupun gosip untuk mebunuh karakter (character assassination). Penyebar gosip ini bisa mendapatkan keuntungan dari pihak yang mereka sebut sebagai klien, normalnya sebagai pengguna jasa.

Hari ini istilah gosip ini telah bermutasi menjadi hoax. Guna meminimalisir atau bahkan “menumpas” hoax ini pemerintah melalui kepolisian dan kementerian informatika telah banyak berupaya. Aturan berikut sanksinya di rilis sebagai panduan bagi masyarakat.

Aturan yang mengikat dan sanksi tegas bagi pelanggar telah menunggu. Hoax yang kemudian banyak mengandung fitnah menjadi sebuah duri dalam era digital dewasa ini. Berita bohong dan fitnah setiap detik beredar dan dikonsumsi oleh kita sebagai pengguna media sosial. Dan pemerintah sebagai penyelenggara negara telah mengambil langkah tepat.

Hoax adalah musuh yang bisa menjadi petaka bagi keberlangsungan bangsa. Tentu kita sebagai warga bangsa tidak pernah bermimpi untuk musnah dimakan hoax. Kita tidak rela rakyat terberai gara-gara hoax. Tentu begitu pula pendiri bangsa ini pun tak kan pernah rela segala pengorbananya sia-sia ditelan fitnah.

Sikap terhadap Hoax

Bagi yang memiliki keyakinan bahwa berita itu harus aktual dan bernilai, mungkin hoax tak akan berpengaruh. Bahkan langsung menganggapnya sebagai sampah yang sama sekali tak bisa didaur ulang. Mungkin sikap ini dimiliki oleh orang yang punya pengetahuan cukup memadai dan tidak mudah percaya.

Namun jika kabar tersebut masuk ke indera orang yang sama sekali tak punya daya saring yang kuat, khawatir hoax itu akan dipercaya begitu saja bahkan akan ikut serta menyebarkannya. Sikap terhadap sebuah kabar adalah kita harus melakukan konfirmasi dan membandingan dengan kabar yang lain. Mendengar, melihat, membaca dan mempelajari secara utuh dengan kepala dan hati yang jauh dari sikap emosi. Dengan mengedapankan unsur baik sangka dan fikiran positif.

Pun kita harus berupaya untuk memberikan edukasi kepada keluarga, tetangga dan teman terdekat mengenai berbagai sisi negatif gosip. Kita sebisa mungkin jangan sampai menjadi bagian masyarakat yang menerima begitu saja berita bohong, gosip, hoax atau bahkan hate speech.

Jangan sampai juga kita menjadi kepanjangan tangan dari akun gosip dan penyebar fitnah. Ketika kita mendapati sebuah pesan atau video atau gambar yang menurut nalar dan hati nurani kita buruk, hapuslah. Karena dengan begitu, kita sudah berperan dalam menjaga kondisi bangsa ini dan menjaga martabat kita sendiri.

Kita sudah berhasil memotong penyebaran keburukan. Kita tidak perlu menjadi masyarakat gampang kaget dan mudah latah. Kaget dengan berbagai berita kemudian latah untuk ikut meyebarkannya. Namun jadilah masayarakat yang cerdas, jujur dan pandai berkomunikasi. Gunakan tiap sentuhan jari kita di media sosial hanya untuk menebarkan kebaikan, inspirasi dan edukasi tanpa harus menggurui.

Rumors are carried by hatters, spreed by fools and accepted by idiots”

 

 

 

 

 

 



Original Source : http://www.tribunnews.com/tribunners/2018/08/15/dari-gosip-menjadi-ujaran-kebencian